Banggalah pada dirimu sendiri, Meski ada yang tak Menyukai. Kadang mereka membenci karena Mereka tak mampu menjadi seperti dirimu.

Rabu, 14 September 2011

Pengembangan Pembelajaran Matematika

     Matematika dan Pembelajaran Matematika
     Matematika bukan pula sekedar berhitung atau
berkutat dengan rumus-rumus dan angka-angka. Herman Hudojo (1979: 97)
mengemukakan bahwa matematika berkenaan dengan ide-ide, struktur-struktur dan
hubungannya yang diatur dengan konsep-konsep abstrak. Sementara Slamet Dajono
(1976: 10) memberikan 3 macam pengertian elementer mengenai matematika sebagai
berikut.
1. Matematika sebagai ilmu pengetahuan tentang bilangan dan ruang.
2. Matematika sebagai studi ilmu pengetahuan tentang klasifikasi dan konstruksi
berbagai struktur dan pola yang dapat diimajinasikan.
3. Matematika sebagai kegiatan yang dilakukan oleh para matematisi.

     Lepas dari berbagai pendapat yang tampak berbeda mengenai pengertian
matematika tersebut, tetap dapat ditarik ciri-ciri atau karakteristik yang sama. Menurut
Soedjadi (1999:13), karakteristik matematika adalah: memiliki objek abstrak, bertumpu
pada kesepakatan, berpola pikir deduktif, memiliki simbol yang kosong arti,
memperhatikan semesta pembicaraan, dan konsisten dalam sistemnya.
Menurut Bell (1981: 108), objek matematika terdiri atas fakta, keterampilan,
konsep, dan prinsip. Berikut adalah uraian mengenai objek-objek matematika tersebut.
1. Fakta
Fakta adalah semua kesepakatan dalam matematika, seperti simbol-simbol
matematika. Siswa dikatakan memahami fakta apabila ia telah dapat menyebutkan
dan menggunakannya secara tepat.
2. Keterampilan
Keterampilan adalah operasi atau prosedur yang diharapkan dapat dikuasai siswa
secara cepat dan tepat. Siswa dikatakan menguasai keterampilan apabila ia dapat
menunjukkan keterampilan tersebut secara tepat, dapat menyelesaikan berbagai
jenis masalah yang memerlukan keterampilan tersebut, dan menerapkan
keterampilan tersebut ke dalam berbagai situasi.
3. Konsep
Konsep adalah ide abstrak yang memungkinkan seseorang dapat menentukan
apakah suatu objek atau kejadian merupakan contoh atau bukan contoh konsep.
Siswa dikatakan menguasai konsep apabila ia mampu mengidentifikasi contoh dan
noncontoh konsep.
4. Prinsip
Prinsip adalah rangkaian beberapa konsep secara bersama-sama beserta hubungan
(keterkaitan) antarkonsep tersebut. Siswa dikatakan menguasai prinsip apabila ia
dapat mengidentifikasi konsep-konsep yang terkandung di dalam prinsip tersebut,
menentukan hubungan antarkonsep, dan menerapkan prinsip tersebut ke dalam
situasi tertentu.
     Soedjadi (1999: 138) mengemukakan bahwa matematika adalah salah satu ilmu
dasar, baik aspek terapannya maupun aspek penalarannya mempunyai peranan yang
penting dalam upaya penguasaan ilmu dan teknologi. Ini berarti sampai batas tertentu,
matematika perlu dikuasai oleh segenap warga negara Indonesia, baik terapannya
maupun pola pikirnya. Itulah alasan penting mengapa matematika perlu diajarkan di
setiap jenjang sekolah. Mengingat begitu luasnya materi matematika, maka perlu dipilih
materi-materi matematika tertentu yang akan diajarkan di jenjang sekolah. Materi
matematika yang dipilih itu kemudian disebut matematika sekolah. Matematika sekolah
adalah unsur-unsur atau bagian-bagian dari matematika yang dipilih berdasarkan atau
berorientasi kepada kepentingan pendidikan dan perkembangan IPTEK. Dengan
demikian menurut Soedjadi (1999: 37), matematika sekolah tidak sama dengan
matematika sebagai ilmu dalam hal penyajiannya, pola pikirnya, keterbatasan
semestanya, dan tingkat keabstrakannya. Untuk mempermudah penyampaiannya,
penyajian butir-butir matematika harus disesuaikan dengan perkiraan perkembangan
intelektual siswa, misalnya dengan menurunkan tingkat keabstrakannya, atau dalam
batas-batas tertentu menggunakan pola pikir induktif, khususnya untuk siswa di sekolah
tingkat rendah, mengingat mereka belum dapat berpikir secara abstrak dan
menggunakan pola pikir deduktif.
Pembelajaran matematika di sekolah tidak hanya dimaksudkan untuk mencapai
tujuan pendidikan matematika yang bersifat material, yaitu untuk membekali siswa agar
menguasai matematika dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Namun lebih
dari itu, pembelajaran matematika juga dimaksudkan untuk mencapai tujuan pendidikan
matematika yang bersifat formal, yaitu untuk menata nalar siswa dan membentuk
kepribadiannya.
     Pembelajaran matematika hendaknya dirancang sedemikian rupa sehingga tidak
hanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan dalam ranah kognitif, tetapi juga untuk
mencapai tujuan dalam ranah afektif dan psikomotor. Pembelajaran matematika yang
baik tidak hanya dimaksudkan untuk mencerdaskan siswa, tetapi juga dimaksudkan
untuk menghasilkan siswa yang berkepribadian baik. Hal ini dapat dimengerti, sebab
menurut Soedjadi (1999:173), tidak semua siswa yang menerima pelajaran matematika
pada akhirnya akan tetap menggunakan atau menerapkan matematika yang
dipelajarinya. Padahal hampir semua siswa memerlukan penalaran dan kepribadian
yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, tugas guru matematika sangat
strategis. Ia dituntut untuk dapat merancang pembelajaran matematika sedemikian rupa
sehingga dapat membantu siswa dalam mengembangkan sikap dan kemampuan
intelektualnya, sehingga produk dari pembelajaran matematika tampak pada pola pikir
yang sistematis, kritis, kreatif, disiplin diri, dan pribadi yang konsisten.
Selama ini, pembelajaran matematika di sekolah lebih mengutamakan pencapaian
tujuan pendidikan matematika yang bersifat material, tetapi kurang memperhatikan
pencapaian tujuan pendidikan matematika yang bersifat formal, yakni untuk menata
nalar siswa dan membentuk kepribadiannya. Hal ini dapat dipahami, mengingat tidak
sedikit guru yang melaksanakan pembelajaran semata-mata untuk menyampaikan
materi pelajaran atau transfer pengetahuan. Menurut Bishop (2000), masih sedikit guru
yang mengetahui bagaimana pengaruh pembelajaran yang telah dilaksanakan dan
bagaimana merancang pembelajaran matematika sehingga dapat mengembangkan nilainilai
matematika pada siswa. Bahkan pada umumnya guru kurang mengetahui adanya
nilai-nilai matematika. Menurut Bishop (2000), values in mathematics education is the
deep affective qualities which education fosters through the school subject of
mathematics. Nilai-nilai dalam pendidikan matematika merupakan komponen penting
dalam pembelajaran matematika di kelas. Nilai-nilai itu dapat dibelajarkan kepada
siswa baik secara implisit maupun eksplisit dalam pembelajaran matematika di kelas.
Misalnya, melalui rangkaian langkah-langkah pemecahan masalah dalam matematika,
siswa dilatih untuk bersikap kritis, cermat, runtut, analitis, rasional, dan efisien.
Dalam pembelajaran matematika yang dikembangkan guru selama ini, tujuan
pendidikan matematika yang bersifat formal, yaitu untuk membentuk nalar dan
kepribadian siswa, diharapkan dapat tercapai dengan sendirinya. Melalui pembelajaran
matematika, diharapkan siswa secara otomatis dapat tertata nalarnya, dapat berpikir
kritis, logis, cermat, analitis, runtut, sistematis, dan konsisten dalam bersikap.
Perencanaan pembelajaran matematika yang demikian menurut Soedjadi (1999: 66)
disebut perencanaan pembelajaran by-chance. Pembelajaran yang demikian tentu saja
masih diperlukan. Namun, seiring perkembangan matematika yang begitu pesat serta
diperlukannya matematika dan pola pikirnya dalam berbagai bidang, maka guru perlu
secara sengaja merancang pembelajaran yang memungkinkan untuk membelajarkan
nilai-nilai edukatif dalam matematika secara aktif kepada siswa. Perencanaan
pembelajaran yang demikian menurut Soedjadi (1999: 66) disebut perencanaan
pembelajaran by-design. Guru secara sengaja mendesain pembelajaran matematika
yang memungkinkan di dalamnya terdapat aktivitas-aktivitas yang dapat mendukung
tumbuh kembangnya kepribadian siswa. Nilai-nilai yang dibelajarkan kepada siswa di
kelas sedapat mungkin juga mencakup nilai-nilai yang berkembang di masyarakat
secara umum. Misalnya, melalui aktivitas diskusi, siswa dilatih untuk menghargai dan
mengkritisi pendapat orang lain, menghargai kesepakatan, dan berlatih mengemukakan
pendapat dengan argumentasi yang kuat.

C. Teori Perkembangan Piaget
Menurut Piaget (Suparno, 1997:34), skema berkembang seturut dengan
perkembangan intelektual. Piaget membedakan empat taraf perkembangan kognitif
seseorang, yaitu: (1) taraf sensori-motor, (2) taraf pra-operasional, (3) taraf operasional
konkret, dan (4) taraf operasional formal. Taraf sensori-motor berkembang pada anak
sejak lahir sampai sekitar umur 2 tahun. Pada taraf ini, anak belum dapat berpikir dan
menggambarkan suatu kejadian atau objek secara konseptual, meskipun perkembangan
kognitif sudah mulai ada, yaitu dibentuknya skema/skemata. Pada taraf pra-operasional,
yang berkembang pada umur 2-7 tahun, mulailah berkembang kemampuan berbahasa
dan beberapa bentuk pengungkapan. Pada taraf ini, penalaran pralogika juga mulai
berkembang. Pada umur 7-11 tahun yang disebut taraf operasioanal konkret, anak
mengembangkan kemampuan menggunakan pemikiran logis dalam berhadapan dengan
persoalan-persoalan konkret. Pada taraf operasional formal (11-15 tahun), anak sudah
mengembangkan pemikiran abstrak dan penalaran logis untuk berbagai persoalan. Pada
keempat taraf perkembangan kognitif di atas, skema seseorang berkembang.
D. Media Pembelajaran
Secara umum, media dapat diartikan sebagai apa saja yang dapat menyalurkan
informasi dari sumber informasi ke penerima informasi. Media merupakan salah satu
komponen dalam proses komunikasi. Komponen-komponen dimaksud adalah sumber
informasi, informasi, dan penerima informasi, serta komponen keempat adalah media.
Apabila salah satu dari keempat komponen ini tidak ada, maka proses komunikasi tidak
mungkin terjadi. Dengan demikian, media hanya akan bermakna apabila ketiga
komponen lainnya ada.
     Pengertian media pembelajaran tidak jauh berbeda dengan pengertian media
dalam proses komunikasi. Menurut Schramm (Prastati, 2001), media pembelajaran
dapat diartikan sebagai teknologi pembawa pesan (informasi) yang dapat dimanfaatkan
untuk keperluan pembelajaran. Sedangkan menurut Briggs (Prastati, 2001) media
pembelajaran diartikan sebagai sarana untuk menyampaikan isi/materi pembelajaran.
Sarana dimaksud dapat berupa perangkat keras maupun perangkat lunak. Sarana
pembelajaran yang berupa perangkat keras antara lain adalah papan tulis, penggaris,
jangka, timbangan, dan kartu permainan bilangan. Sedangkan contoh sarana yang
dikategorikan sebagai perangkat lunak antara lain adalah lembar kegiatan siswa (LKS),
lembar tugas, petunjuk permainan matematika, dan program-program komputer.

     Metode pembelajaran adalah prosedur yang disengaja dirancang untuk
membantu siswa belajar lebih baik dan untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Keterkaitan antara media pembelajaran dan metode pembelajaran dalam kegiatan
pembelajaran digambarkan sebagai berikut.
Sebagai contoh, misalkan guru melaksanakan kegiatan pembelajaran di kelas
menggunakan OHP melalui aktivitas diskusi, maka OHP tersebut adalah media
pembelajaran, sedangkan diskusi adalah metode pembelajaran yang sengaja dirancang
untuk melaksanakan proses pembelajaran dengan sebaik-baiknya.
Terdapat berbagai cara untuk mengklasifikasikan media pembelajaran. Secara
umum, media pembelajaran dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu alat-alat
produk teknologi yang digunakan untuk menampilkan pesan/informasi yang disebut
perangkat keras (hardware) seperti OHP, televisi, cassete recorder, dan program/pesan
yang ditampilkan melalui alat tersebut yang disebut perangkat lunak (software), seperti
slide, film, video cassete.
    Bletz (1971) membagi media pembelajaran menjadi tiga macam, yaitu media
yang dapat didengar, media yang dapat dilihat, dan media yang dapat bergerak. Dari
ketiga macam media pembelajaran tersebut yang paling lengkap adalah audio-visual
gerak (ada gambar, suara, dan gerak). Sedangkan Schramm (1977) membagi media
menurut banyaknya audiens yang dilayani sebagai berikut.
a. Media untuk audiens besar, seperti televisi, radio, dan internet.
b. Media untuk audiens kecil, seperti film suara, film bisu, video tape, slide, radio,
audiotape, audiodisc, foto, papan tulis, chart, dan OHP.
c. Media untuk individu, seperti media cetak (hand-out), dan computer assisted
instruction (CAI)
Media pembelajaran dapat berfungsi sebagai alat bantu visual dalam kegiatan
pembelajaran, yaitu berupa sarana yang dapat memberikan pengalaman visual kepada
Sumber informasi
Penerima informasi
Media
Informasi
Penerima informasi
Sumber informasi
Metode pembelajaran
Metode pembelajaran

    Siswa antara lain untuk mendorong motivasi belajar, memperjelas dan mempermudah
penyampaian konsep yang abstrak, dan mempertinggi daya serap atau retensi belajar
siswa. Menurut Basuki Wibawa dan Farida Mukti (1993: 8-9), media pembelajaran
dapat difungsikan sebagai berikut.
1. Sebagai alat bantu mengajar (dependent media)
Efektivitas penggunaan media tergantung cara dan kemampuan guru dalam
menggunakan, misalnya gambar, dan transparansi.
2. Sebagai media belajar mandiri (independent media)
Media dirancang, dikembangkan, dan diproduksi secara sistematik, serta
dapat menyalurkan informasi secara terarah untuk mencapai tujuan tertentu,
misalnya: radio, televisi, film, dan video. Keuntungan model ini yaitu guru
dapat memberikan waktu banyak bagi siswa yang benar-benar
membutuhkan, siswa menjadi aktif, siswa dapat belajar sesuai kecepatan
masing–masing.
E. Contoh Pembelajaran Matematika
Berikut diberikan contoh pembelajaran matematika, pada topik bilangan, yang
bertujuan untuk mengembangkan kemampuan intuisi anak, melalui permainan tebak
angka. Mintalah siswa untuk memikirkan suatu bilangan. Berikan pertanyaanpertanyaan
selidik untuk menebak bilangan yang dipikirkan anak tersebut, seperti
berikut ini.
Guru : Coba pikirkan suatu bilangan.
Anal : ya (anak memikirkan suatu bilangan)
Guru : Apakah bilangan itu lebih besar dari 25?
Siswa : Tidak...
Guru : Apakah bilangan itu terletak antara 10 dan 20?
Siswa : ya
Guru : Apakah bilangan itu genap?
Siswa : ya
Dan seterusnya, hingga guru dapat menebak bilangan yang dipikirkan anak.
Setelah guru dapat menebak bilangan yang dipikirkan oleh anak, selanjutnya
siswa diminta untuk menebak suatu bilangan yang dipikirkan guru dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan selidik serupa.

     Guru dapat juga menggunakan media pembelajaran, seperti gambar berikut ini,
untuk membelajarkan matematika. Siswa diminta untuk menjelaskan alasan
jawabannya.
Untuk membelajarkan konsep perkalian, kepada siswa dapat dihadirkan beberapa
benda real yang tersusun menurut aturan tertentu, misalnya satu ‘kotak’ teh botol
(berisi 24 botol) yang tersusun empat-empat seperti berikut ini.
Melalui aktivitas diskusi kelompok, siswa diminta untuk menghitung banyaknya
gelas dalam kotak tersebut. Kemungkinan besar siswa akan menjawab 24, meskipun
dengan cara-cara yang mungkin berbeda. Siswa diminta untuk menjelaskan cara
mereka menjawab. Guru dapat menanyakan kepada siswa bagaimana cara menghitung
gelas-gelas tersebut dengan cepat (tanpa menghitung satu-persatu). Beberapa
kemungkinan jawaban siswa adalah:
o Siswa menghitung satu persatu semua gelas yang ada sehingga diperoleh hasil
24.
o Siswa memperhatikan pola susunan gelas dan menjawab sebagai berikut. Karena
‘empatnya ada enam’, maka banyaknya semuan gelas adalah 4+4+4+4+4+4
yang sama dengan 24 atau karena ‘enamnya ada empat, maka banyaknya semua
gelas adalah 6+6+6+6 yang sama dengan 24 juga.
o Siswa langsung mengalikan: 6 x 4 = 24.
o dan lain sebagainya.

F. Penutup
Dibutuhkan kreativitas bagi guru untuk mengembangkan pembelajaran
matematika yang menarik dan dapat menumbuhkan kreativitas siswa. Untuk tujuan
tersebut guru dapat menggunakan media pembelajaran. Media pembelajaran yang baik
tidak identik dengan kemahalannya. Guru dapat menggunakan benda-benda sederhana
yang mudah didapat sebagai media pembelajaran. Pemanfaatan media pembelajaran
tersebut dapat dikombinasikan dengan aktivitas permainan, sehingga pembelajaran
terasa lebih hidup. Pembelajaran yang demikian, perlu terus menerus dikembangkan,
sehingga setahap demi setahap diharapkan akan menjadikan matematika sebagai
pelajaran yang disenangi siswa. Semoga.
G. Daftar Pustaka
Arsyad, Azhar. 2000. Media Pengajaran. Jakarta: PT Radja Grafindo Persada.
Basuki Wibowo dan Farida Mukti. 1993. Media Pengajaran. Jakarta: DepDikBud.
Bell, Frederick H. 1981. Teaching and Learning Mathematics (in Secondary School)
IOWA : WnC Brown Comp. Publisher.
Bishop, Alan. dkk. 2000. Values in Mathematics Education: Making Values Teaching
Explisit in the Mathematics Classroom.
http://www.aare.edu.au//99pap/bis99188.htm. Didownload pada 22 Maret
Dajono, Slamet. 1976. Harapan Terhadap Pengarahan Pendidikan Matematika di
Indonesia. Makalah pidato pengukuhan guru besar dalam pendidikan
matematika pada Fakultas Ilmu Eksakta IKIP Surabaya. Makalah disampaikan
pada 3 Mei 1976.
Herman Hudojo 1979. Pengembangan Kurikulum Matematika dan Pelaksanaannya di
Depan Kelas. Surabaya: Usaha Nasional.
Kemp & Dayton. 1985. Planning and Producing Instructional Media. New York:
Harper & Row Publisher.
Leshin, C.B. Pollock & Reigeluth, C.M. 1982. Instructional Design Strategies and
Tactics. Englewood Cliffs: Educational Technology Publications.
Paul Suparno.1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Prasasti, Trini & Irawan Prasetya. 2001. Media Sederhana. Jakarta: Pusat Anta
Universitas untuk Peningkatan dan Pengembangan Aktivitas Instruksional Dirjen
Dikti Depdiknas.
R. Soedjadi.1999. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia (Konstatasi Keadaan
Masa Kini Menuju Harapan Masa Depan). Jakarta: Ditjen Dikti Depdikbud.
sumber: http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/tmp/Pengembangan%20Pemb%20Matematika_1.pdf

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More